Minyak atsiri merupakan hasil biosintesis lanjutan (metabolisme) terhadap hasil utama proses fotosintesis daun. Proses metabolisme tersebut berlangsung pada bagain jaringan tanaman seperti akar, batang, kulit, daun, bunga, buah dan biji.
Tanaman penghasil minyak atsiri memiliki peran fisiologis adalah pertahanan dan penangkis serangan eksternal seperti organisme perusak dan penetralisir racun. Minyak atsiri mempunyai sifat, antara lain mudah menguap pada suhu kamar, mempunyai rasa getir, berbau wangi sesuai dengan tanaman yang menghasilkannya dan larut dalam pelarut organik (Widiyanto dan Siarudin, 2013).
Minyak atsiri kayu putih atau sering disebut dengan Cajuput oil. Cajuput oil memiliki kemiripan dengan eukaliptus-flavor atau minyak essensial yang banyak digunakan dalam pembuatan permen-permen ternyata juga dimanfaatkan sebagai salah satu komponen dalam pembuatan produk konfeksioneri (Halimah, 1997).
Cajuput oil digunakan sebagai pembuatan produk konfeksioneri yang memberikan nilai tambah pada produk dengan kandungan senyawa-senyawa yang mampu menghangatkan tubuh. Cajuput oil memiliki kandungan senyawa-senyawa mikroba. Menurut Dharma (1985) bahwa minyak kayu putih/cajuput oil merupakan obat luar untuk sakit mulas, sakit kepala, sakit gigi, sakit telinga, kejang dan kaku pada kaki, berbagai jenis nyeri, luka bakar dan dapat digunakan sebagai obat dalam (internal).
Minyak atsiri kayu putih dapat diperoleh melalui proses penyulingan. Daun yang digunakan merupakan daun tanaman muda (tidak lebih dari 6 bulan) karena kandungan minyaknya lebih tinggi. Minyak ini bersifat mudah menguap dan mempunyai bau khas. Minyak ini sering dipalsukan melalui penambahan minyak tanah dan bensin (Nurramdhan, 2010).
Utomo dan Mujiburohman (2018) menyatakan bahwa minyak atsiri kayu putih menggunakan daun kering maupun basah semakin lama waktu penyulingan maka volume minyak yang diperoleh juga semakin banyak. Hal ini terjadi akibat adanya jumlah minyak yang terlarut dalam pelarut yang digunakan (air) pada dasarnya tergantung pada nilai kelarutan minyak atsiri kayu putih dalam air, yang ditandai dengan tidak terjadinya perubahan volume minyak meski lamanya waktu penyulingan ditambah.
Daun kering dapat menghasilkan volume lebih besar daripada daun segar. Hal ini disebabkan kandungan air yang berada pada daun segar yang mampu menghalangi difusi minyak yang tergandung pada daun kayu putih ke pelarut (uap air) sehingga minyak yang terkandung tidak terambil secara maksimal. Sedangkan daun kering tidak banyak mengandung air sehingga setelah dipotong dan didestilasi minyak kayu putih dapat terambil secara maksimal.
Kualitas minyak atsiri kayu putih yang bagus ditandai dengan warna kuning muda dan beraroma khas minyak kayu putih. Kualitas minyak atsiri kayu putih ini juga dapat diperhatikan banyaknya hasil rendemennya.
Menurut Utomo dan Mujiburohman (2018) menyatakan bahwa variabel daun segar menghasilkan rendemen minyak kayu putih yang sedikit (0,15-0,20%) dibandingkan dengan variabel daun kering (0,50-0,79%) yang diperoleh dengan operasi optimum pada suhu 1000C dengan waktu destilasi 5 jam.
Nurramdhan (2010) menyatakan bahwa warna minyak kayu putih adalah hijau bening, yang disebabkan adanya tembaga dari ketel-ketel penyulingan miinyak kayu putih dan senyawa organik yang kemungkinan adalah klorofil. Untuk memisahkan senyawa tembaga dapat menggunakan larutan asam tartarat pekat. Namun apabila warna hijau tersebut disebabkan oleh klorofil atau bahan organik, maka minyak dapat dipucatkan dengan menggunakan karbon aktif. Proses rektifikasi dapat mengeliminasi warna yang tidak dilakukan di daerah-daerah produksi.
Petani atau pedagang perantara membuat minyak atsiri kayu putih yang kadang-kadang dicampur dengan asam lemak atau dengan kerosen. Bau minyak kayu putih sedemikian kerasnya sehingga saat dilakukan penambahan kerosen atau asam lemak, minyak kayu putih tersebut tidak menunjukkan perubahan bau.
Pengujian sederhana pedagang pribumi menggunakan cara mengocok minyak atsiri kayu putih didalam botol. Apabila membentuk busa dan gelombang-gelombang udara yang naik ke permukaan tidak segera hilang, hal ini menandakan bahwa adanya penambahan kerosen atau bensin kedalamnya (Nurramdhan, 2010).
Kandungan aroma yang berbentuk dari hijau daun (chlorophly) dimana unsur kandungan tersebut bersatu dengan glukosa yang menciptakan glukosida yang disalurkan ke seluruh tubuh tumbuhan. Tumbuhan akan menghasilkan zat penawar (enzim) yang menyerbu glukosida sehingga mengakibatkan terciptanya minyak atsiri.
Penutup
Minyak atsiri kayu putih diperoleh dengan cara penyulingan air dengan warna minyak kuning muda beraroma kayu putih terdiri dari komponen penyusun minyaknya yaitu cineol, terpineol, pinene, benzaldehyde, limonene, dan sesquiterpe.
Sekian artikel yang membahas tentang Apa Sih Minyak Atsiri Kayu Putih? semoga bermanfaat bagi para pembaca.
"Salam Lestari"
Sumber
Dharma, A. P. 1985. Tanaman Obat Tradional Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.
Halimah. 1997. Pembuatan Cajuput Candy sebagai salah Satu Alternatif Produk Konfeksioneri Khas Indonesia. [Skripsi]. IPB. Bogor.
Nurramdhan, I. F. 2010. Daya Hambat Minyak Kayu Putih dan Komponen Penyusun Flavor Cajuput Candy terhadap Akumulasi Biofilm Streptococcus mutans dan Streptococcus sobrinus secara In Vitro. [Skripsi]. IPB. Bogor.
Utomo, D. B. G dan Mujiburihman, M. 2018. Pengaruh Kondisi Daun dan Waktu Penyulingan terhadap Rendemen Minyak Kayu Putih. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Widiyanto,A. dan Siarudin M. 2013. Karakteristik Daun dan Rendemen Minyak Atsiri Lima Jenis Tumbuhan Kayu Putih. Balai Penelitian Teknologi Agroforestry. Ciamis-Banjar.
Author : Lamboris_Pane
Editor : panehutan
No comments:
Post a Comment